Decision making is at very heart of the administrative process. Greg (1957) dalam Lipham (1985; 80). Sedangkan menurut Lipham: Decision making is a process wherein awareness of a problematic state of a system is reduced to competing alternatives among which a choice is made, based on perceived outcome states of the system (Lipham,1974) in Lipham 1985).
Proses pengambilan keputusan merupakan tanggung jawab utama bagi seorang pemimpin, demikian juga dalam organisasi sekolah, keputusan yang diambil oleh seorang kepala sekolah sangatlah penting karena bisa menentukan arah dan jalannya organisasi sekolah, proses belajar mengajar, komunikasi warga sekolah, belanja dan keuangan sekolah, hubungan dengan orang tua hingga akhirnya juga akan menentukan kualitas dan mutu sekolah.
Pengambilan keputusan di sekolah merupakan proses sosial yang terus berlanjut dan tidak hanya sebuah strategi untuk mengelola sekolah, tetapi juga suatu usaha untuk mempertahankan legitimasi dari institusi publik. Selanjutnya John Clinton, dalam Email: clintonj@ newschool.edu, menyatakan;
Decision making is in many ways the central focus of managerial action: managers spend much of their intentional effort attempting to solve problems, defined as gaps between an actual and a desired state. To solve a problem they must formulate and enact a decision. A promising approach to making organizational decisions is found in rational and rule-based models that outline steps in the decision-making process, seek to maximize utility, emphasize successful precedents, and/or provide a framework for multi-party participation in the decision making process.
Menurut Lipham (1981;78) ada tiga dimensi dalam pengambilan keputusan, yang pertama isi keputusan, proses keputusan dan keterlibatan dalam pengambilan keputusan. Isi keputusan yang mengacu pada tentang apa keputusan tersebut dan biasanya berhubungan dengan fungsi dari kewenangan kepala sekolah tentang kurikulum dan pengajaran, personalia, keuangan, hubungan masyarakat dsb. Sedangkan proses pengambilan keputusan mengacu pada bagaimana keputusan itu diam
a). Langkah-langkah dalam proses pengambilan keputusan di tingkat sekolah:
Proses pengambilan keputusan adalah sesuatu yang berlangsung terus dan merupakan siklus yang berulang secara alamiah. Langkah-langkah di bawah ini merupakan proses dalam pengambilan tindakan di sekolah:
A needs assessment is completed by the site leadership team.
The site leadership team determines design teams and committees to address focus areas of need. The site leadership team determines the make-up of design teams and committees.
Design teams and committees research best practices and review the literature to develop action plans to address focus areas of need.
Action plans are presented by the design team or committee to the site leadership team.
If approved, the action plan is forwarded to the school-as-a-whole for discussion and approval. If not approved, the design team is given further direction by the site leadership team for further study and planning.
If approved by the school-as-a-whole, the design team implements the action plan. Assessment of the action plan is the responsibility of the design team and is presented at the appropriate time to the site leadership team.
The School Improvement Plan is a reflection of the needs assessment completed by the site leadership team, the action plans approved by the school-as-a-whole, and the assessments completed by design teams. The assessments then become a part of the next cycle for school improvement in the needs assessment phase." http;//eric.uoregon.edu)
Pengambilan keputusan di sekolah dengan pola di atas dimulai dengan analisa kebutuhan organisasi secara menyeluruh yang kemudian diikuti dengan pembentukan tim perancang lalu menentukan tim penilai kebijakan dari unsur pimpinan. Tugas tim perancang ini untuk menyusun Action Plan (Rencana Kerja), yang dalam tahapan selanjutnya didiskusikan untuk mendapat persetujuan. Tahapan berikutnya proses pengimplementasian sedangkan proses monitoring dan evaluasi dilaksanakan selama dan setelah kegiatan dilaksanakan. Rencana kerja dari tim perancang itu kemudian dituangkan kedalam master plan sekolah yang disebut Rencana Induk Pengembangan Sekolah (RIPS) merupakan refleksi kajian kebutuhan yang disusun oleh tim pimpinan, dalam pelaksanaan RIPS ini menggunakan pola penilaian berkelanjutan yang merupakan siklus untuk terus mendapat perbaikan untuk pengembangan sekolah.
b). Beberapa langkah dalam proses pengambilan keputusan
Dari beragam kepustakaan yang ada, menunjukan banyaknya rumusan dan model yang ditawarkan untuk tahapan aktivitas mental ini. Metode yang paling populer dalam rumusan pengambilan keputusan yaitu yang disebut SM 14 yang terdiri dari 11 langkah dan 3 resep;
Akan tetapi, dalam situasi kehidupan yang semakin kompleks proses pengambilan keputusan tidaklah mudah, apalagi dalam organisasi sekolah sebuah keputusan yang diambil tanpa dasar dan kajian yang matang dan komprehensif akan berdampak langsung pada proses, mutu dan proses pembelajaran.
Sekolah sebagai suatu organisasi jelas merupakan suatu sistem, Salisburry (1996;123), berpendapat bahwa sistem adalah suatu kumpulan komponen-komponen yang bekerja sama sebagai satu kesatuan fungsi. Satu komponen dengan komponen lain saling bekerja sama dalam mencapai tujuan sistem. Sistem sekolah terdiri dari gedung, tujuan, manajemen, kurikulum, fasilitas, pekarangan, guru, dan murid. Keseluruhan komponen tersebut memberikan kontribusi terhadap pencapaian tujuan, yaitu menjadi sekolah yang efektif. Hal ini berarti bahwa sekolah yang efektif adalah sekolah yang mencapai tujuan dengan melahirkan lulusan yang berkualitas sesuai harapan pelanggan atau masyarakat.
Sejalan dengan itu menurut Joseph C. Field (1994), dalam Syafarudin (2002;87), ada delapan keuntungan yang dicapai dengan penerapan manajemen mutu terpadu dalam pendidikan,
1. memperkuat organisasi sekolah dan memberikan peta jalan atau arah bagi perubahan.
2. menolong kita untuk bekerja sebagai teman dalam kelompok kerja bukan sebagai musuh.
3. mengupayakan suatu program yang akan mengusahakan bukan hanya penanganan satu aspek saja dari pendidikan tetapi menjadi pendekatan yang holistik dan menyebabkan segala unsur sekolah mengubah cara yang mengarahkan dirinya.
4. meningkatkan partisipasi orang yang terlibat dalam penyelenggaraan sekolah yang efektif (pelajar guru, staf, alumni) dan usaha masyarakat sekolah.
5. mengarahkan para orang tua dan siswa-siswa untuk membuat saran-saran untuk memajukan keadaan sekolah
6. mengarahkan adanya bapak angkat dan organisasi pelajaran dalam membuat standar mutu pendidikan bagi sekola
7. membuat warga menjadi lebih proaktif daripada bersikap reaktif terhadap sesuatu yang mempengaruhi
8. dapat mengarahkan atau mengendalikan pengaruh segala sesuatu yang kita lakukan dan cara kita mengendalikannya.
Aspek kunci lain yang perlu diperhatikan oleh kepala sekolah sebagai pemimpin dalam melaksanakan upaya perbaikan dan peningkatan mutu berkelanjutan, adalah memberikan wewenang kepada para guru dalam meningkatkan mutu proses belajar-mengajar, serta kepada guru-guru diberikan kesempatan dalam melakukan pembuatan keputusan dan diberikan tanggung jawab yang lebih besar dalam melaksanakan tugas-tugas sebagai guru. Dengan adanya pelimpahan wewenang, inisiatif, dan rasa tanggung jawab terhadap guru dan staf lainnya dapat lebih terdorong untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan lebih baik yang pada gilirannya dapat menghasilkan kinerja yang bermutu.
Karena itu, strategi implementasi strategik manajemen dalam aplikasi membangun teamwork dengan menggunakan model manajemen partisipatif menunjukan adanya keterlibatan guru secara teratur dan signifikan dalam setiap keputusan yang diambil oleh organisasi. Setiap warga sekolah sesuai dengan peran dan tugasnya terlibat dalam penentuan arah, tujuan organisasi sekolah, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan baik yang menyangkut aspek keseluruhan organisasi maupun penugasan individu.
Dalam sekolah efektif seorang pemimpin di antaranya akan melibatkan guru-guru dalam kebijakan dan merancang kurikulum. Proses ini akan meningkatkan konsistensi adanya rasa memiliki baik dalam pelaksaaan program maupun dalam pertanggungjawabannya, di antara staf pengajar, dan semua warga sekolah.
Manajemen partisipatif menurut Girling dan Keith (1998;219), berangkat dari pengakuan bahwa kehidupan organisasional kontemporer sangat kompleks, dan sangatlah manusiawi bahwasanya seorang manajer atau seorang kepala sekolah sebagai manusia biasa tidak mungkin baginya untuk menjawab dan mengatasi beragam masalah, tantangan serta ancaman yang menimpa organisasinya seorang diri. Prinsip dasar yang terkandung dalam manajemen partisipatif adalah pembagian kewenangan, pendelegasian wewenang dan juga tanggung jawab kepada para guru dan staf non edukasioanal lainya di sekolah, sesuai dengan derajat dan kewenangan yang disepakati bersama.
Walaupun dalam pelaksanaan dari pengertian di atas tidaklah berarti bahwa menapikan pentingnya keberadan seorang manajer. Efektivitas manajemen dalam kerangka manajemen partisipatif adalah merupakan komitmen filosofis yang telah terbukti dalam berbagai penelitian adalah menjadi prasarat dan sangat diperlukan dalam mewujudkan sekolah efektif. Dari berbagai dimensi para peneliti menyimpulkan bahwa inti dari manajemen partisipatif adalah menyatukan berbagai dimensi seperti; partisipasi, keterlibatan warga sekolah dan kerjasama. Alasan mengapa partisipasi sangatlah penting dalam konteks pendidikan adalah terletak pada Empowerment (pemberdayaan) dan Profesionalization (profesionalisasi).
DAFTAR PUSTAKA
Batten, J.D. (1989) Though Minded Leadership, New York:American Management Association
Cheng, Y. C. (1993). Profiles of organizational culture and effective schools. School Effectiveness and School Improvement, 4(2):85-110.
Cook & Macaulay (1996). Perfect Empowerment (terjemahan) Jakarta; Gramedia.
Davis, Gary A. & Thomas, Margaret A. (1989). Effective Schools and Effective Teachers. Massachusetts: Ally and Bacon.
Day, Christopher and Alma Harris. (2007). Effective Schools Research http;//www.ncsl org.uk/publication-az.cfm .
Departemen Pendidikan Nasional (2006), Pengembangan Budaya dan Iklim Pembelajaran di Sekolah. Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik Dan Tenaga Kependidikan. Jakarta.
Djohar, H. (2003). Pendidikan Strategik; Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta; LESFI.
DuFour, R and Eaker R (1987). The Principal as a Leader: Two Major Responsibilities. NASSP Bulletin.
Flippo,Eb. (1983). Personnal Management, New York; MCGraw-Hill International Book
Freire, Paulo. (1999). Politik Pendidikan, Kebudayaan dan Pembebasan Terjemahan. Agung Prihantoro dan Arif F. Yogyakarta: READ dan Pustaka Pelajar
Furlong, C. & Monahan L. 2000. School Culture and Ethos. Dublin: Marino Institute of Educati
Harris, Philip R. 1998. The New Work Culture. Amherst: HRD Press.
Hasibuan, (1996). Motivasi dalam Organisasi. Mandar Maju. Bandung.
Johansson, R. (1993). System Modelling and Identification, New York:
Prentice-Hall. International. Inc
John P. Kotler. & James L. Heskett, (1998). Corporate Culture and Performance. (terj. Benyamin Molan). Jakarta: PT Prehalindo.
Kinsler Kimberly & Gamble Mae. (2001). Reforming Schools. London; Continuu
Lerner, A.L. (1999). A Strategic Planning Primer for Higher Education. Northridge. California: College of Business Administration and Economics, California State University
Lezotte, L.W (1989). Effective Schools Research Model for Planned Change. Effective Schools Products, Limited. Michigan Okemos. July 1989.
Maslow A.H (1970). Motivation and Personality. (2nd ed). New York; Harper and Row. Tersedia www.alibris.com/search/books/qwork/ 4479958 .
Mortimore, P. (1993). School Effectiveness and the Management of
Nisyar. K dan Winardi (1997). Manajemen Strategik. Bandung. Mandar Maju.
Purkey, S.C& Smith,M.S. (1983). Effective School: Interpreting The Evidence American Journal of Education, 83 (1983) 427-452.
Sinclair, and Hatton (1988). The Motivation in School. Sidney; Allen & Unwin.
Praktek Edisi Revisi V. Jakarta Rineka Cipta.
Townsend, T. (1994). Effecting Schooling for the Communitty. London and New York, Routledge.
Townsend, T. (1994). Goals for Effective School: the view from the field , School Effectivenes and School Improvements. Belfast Davod Fulton .inc
0 komentar:
Posting Komentar