19.55.00
1
Pentingnya Motivasi dalam Sekolah Unggul

Peran motivasi tak bisa diabaikan dalam membangun sekolah unggul, proses pembelajaran dan semangat guru untuk berprestasi mengacu pada teori Bentley dan Rwempel (www.ericdigests.org/1999-2/), bahwa moral dan motivasi personalia merupakan salah satu faktor yang kritis dalam proses dan prestasi sekolah. Karena tingkatan moral yang rendah berhubungan dengan frustasi, stress, ketakberdayaan. Sedangkan moral yang tinggi berhubungan dengan kepuasan, perasaan memiliki, prestasi pribadi dan kelompok juga harga diri individu dan harga diri organisasi. 

Kembali dalam hal ini seorang kepala sekolah atau birokrat di lingkungan pendidikan mempunyai peran yang sangat penting dalam mengembangkan moral dan semangat yang tinggi. Manajemen yang berhubungan dengan moral yang tinggi akan menimbulkan pola berpartisipasi dan suportif serta dibarengi dengan pembagian kewenangan dalam pengambilan keputusan, penetapan tujuan yang partisipatif, dan pembagian kekuasan. Peran kepala sekolah dalam mengatur dan mengelola mulai dari perencanaan, pengorganisasian, komunikasi, motivasi dan pengawasan semua ini mempunyai implikasi yang penting dalam membangun moral karyawan.

Sekaitan dengan pentingnya moral dan motivasi guru dalam menunjang peningkatan mutu pendidikan perlu diperhatikan beberapa hal diantaranya; kepuasan kerja dan motivasi kerja, bila motivasi dan kepuasan kerja tidak terpenuhi dalam suatu organisasi/sekolah maka kinerja yang diharapkan tidak akan bisa diharapkan untuk mencapai mutu sekolah. 

Kurangnya akses dan tidak dilibatkan secara langsung ataupun tidak dalam pengambilan keputusan-keputusan administratif dari para birokrat yang menganggap remeh profesionalisme dan ketrampilan guru, tidak adanya musyawarah tentang model atau keputusan praktis yang diambil birokrat, kurangnya pengakuan untuk suatu keberhasilan, akan mengakibatkan kepuasan guru rendah. Sedangkan Kepuasan guru akan dicapai kalau pencapaian tujuan sekolah dan individu guru bisa berjalan berbarengan. 

Pentingnya motivasi untuk mengatasi, kebosanan, kesendirian, kejenuhan dan yang akhirnya bisa menimbulkan stress, sebagaimana dikemukakan oleh Andrew Hunter (1952) dalam Mulyasa (2004;54), bahwasanya peran manajemen kepala sekolah yang terutama adalah, dalam bidang perencanaan, pengorganisasian, komunikasi, motivasi, dan mengawasi semua implikasi penting untuk moral para warga sekolah. 

Untuk mencapai kepuasan guru ternyata model partisipatif merupakan salah satu faktor yang penting dalam mempengaruhi kepuasan dan moral guru, ketrampilan manajemen kepala sekolah mempunyai peran yang kuat terhadap moral sekolah khususnya perasaan terhadap kepuasan guru yang diterima dari pekerjaan mereka dan sejumlah penyebab stress dari pengalamannya. 

Kepuasan kerja dianggap menjadi suatu fungsi dari hubungan yang diterima antar seseorang yang dia inginkan dari pekerjaan itu dengan apa yang diterimanya (Locke, 1969) dalam Turney dan Hatton (1992:218) sedangkan Mumford (1972; Ibid), derajat kecocokan antara permintaan organisasi dengan pekerjanya dan apa yang dicari pekerja dari perusahaannya. 

Sedangkan menurut Mac.Laughin (1997;171-178), menemukan bahwa frustasi dan ketidakpuasan guru pada umumnya berhubungan dengan: 

a. Kurang terakomodasinya pendapat mereka ke dalam pengambilan keputusan yang secara langsung mempengaruhi pekerjaan mereka
b. Keputusan adminstratif yang merendahkan profesional dan keahlian guru 
c. Ketiadaan diskusi mengenai model pengajaran baru atau pengganti
d. Kurangnya pengakuan untuk prestasi yang diraih

Pendapat Belasco & Alluto (1972) dalam Turney (1992;215), menyebutkan kepala sekolah sewaktu mendorong keterlibatan guru, harus pula sensitif dan peka terhadap kebutuhan staf khusus dalam pengambilan keputusan. Karena kepemimpinan yang partispatif ternyata terbukti menjadi faktor yang paling penting dalam mempengaruhi kepuasan dan moral guru. 

Peran motivasi dari manajer sekolah mendorong membantu usaha untuk menciptakan kondisi dalam konteks pendidikan yang akan membangkitkan energi, yang secara langsung akan menopang performansi individual dan kelompok dalam kerangka tanggung jawab. Selain dari itu motivasi bertujuan untuk menciptakan kondisi yang membangun energi baru bagi guru untuk berusaha untuk terus mencapai tujuan-tujuan pendidikan di sekolah, menyediakan model yang cocok dalam memberi semangat dalam melaksanakan tugas yang mencerminkan kehangatan dan hubungan intrapersonal yang efektif, menunjang iklim sekolah yang positif melalui pemilikan prestasi yang datang. Motivasi berkaitan dengan kebutuhan, kita sebagai manusia selalu mempunyai kebutuhan yang diupayakan untuk dipenuhi. Apabila kita melaksanakan tindakan-tindakan guna memenuhi kebutuhan tersebut maka kita “termotivasi” untuk mencapai hal tersebut.

Motivasi merupakan salah satu faktor yang turut menentukan keefektifan kerja, Callahan and Clark (1988) dalam Lipham (1985;32), mengemukakan bahwa motivasi adalah tenaga pendorong atau penarik yang menyebabkan adanya tingkah laku ke arah tujuan tertentu. Mengacu pada pendapat tersebut, dapat dikemukakan bahwa motivasi merupakan suatu bagian yang sangat penting dalam suatu lembaga. Dalam kaitan ini pemimpin dituntut untuk memiliki kemampuan membangkitkan motivasi para pegawai sehingga kinerja mereka meningkat, motivasi merupakan bagian penting dalam setiap kegiatan, tanpa motivasi tidak ada kegiatan yang nyata. Maslow (1970 www.alibris.com/ search/books/qwork/4479958 ) mengemukakan bahwa motivasi adalah tenaga pendorong dari dalam yang menyebabkan manusia berbuat sesuatu atau berusaha untuk memenuhi kebutuhannya. 

Dengan teori the Hierarchy of need yang terkenal Maslow mengambarkan motivasi individu mempunyai tingkatan kebutuhan-kebutuhan pokok yang berprioritas dan membentuk motivasi manusia untuk memenuhi kelima tingakat kebutuhan tersebut: 

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah hal yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Ada dua jenis motivasi, yaitu intrinsik, dan ekstrinsik (Owen, Cs) dalam Hasibuan (1996;25). Motivasi instrinsik adalah motivasi yang datang dari dalam diri seseorang, misalnya pegawai melakukan suatu kegiatan karena ingin menguasai suatu keterampilan tertentu yang dipandang akan berguna dalam pekerjaannya. Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang berasal dari lingkungan di luar diri seseorang, misalnya pegawai bekerja karena ingin mendapat pujian atau ingin mendapat hadiah dari pemimpinnya. 

Motivasi intrinsik pada umumnya lebih menguntungkan karena biasanya dapat bertahan lebih lama. Motivasi intrinsik muncul dari dalam diri pegawai, sedangkan motivasi ekstrinsik dapat diberikan oleh pemimpin dengan jalan mengatur kondisi dan situasi yang tenang dan menyenangkan. Dalam kaitan ini pemimpin dituntut untuk memiliki kemampuan memotivasi pegawai agar mau dan mampu mengembangkan dirinya secara optimal. Hal ini terutama dibutuhkan pada kegiatan-kegiatan yang berkaitan langsung dengan peningkatan kinerja. 

Untuk mencapai keadaan termotivasi, maka kita harus mempunyai kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi. Tetapi tidak ada seorang pun yang dapat memuaskan kebutuhannya. Motivasi penting karena dengan motivasi karyawan mau bekerja keras dan antusias untuk mencapai produktivitas kerja yang tinggi.

Alasan motivasi harus dilakukan kepala sekolah pimpinan terhadap guru dan staf adminitrasi lainnya juga termasuk pada siswa adalah; 

  • Karena pimpinan membagi-bagikan pekerjaannya kepada para bawahan untuk dikerjakan dengan baik. 
  • Karena ada bawahan yang mampu untuk mengerjakan pekerjaannya, tetapi pekerja itu malas atau kurang bergairah mengerjakannya. 
  • Untuk memelihara dan atau meningkatkan kegairahannya kerja bawahan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. 
  • Untuk memberikan penghargaan dan kepuasan kerja kepada bawahannya. 
Memberi motivasi sangat sulit, karena seorang manajer atau pimpinan sulit untuk mengetahui kebutuhan (needs) dan keinginan (wants) yang diperlukan bawahan dari hasil pekerjaannya itu. Seorang manajer dalam memotivasi karyawannya ini harus menyadari, bahwa orang akan mau bekerja keras dengan harapan, ia dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan-keinginannya.

Menurut Plowman dan Peterson dalam Hasibuan (1996;35), ada empat keinginan dalam diri manusia yaitu:

1. The desire to live, artinya keinginan untuk hidup merupakan keinginan utama dari setiap orang, manusia bekerja untuk dapat makan untuk melanjutkan hidupnya.
2. The desire for posession, artinya keinginan untuk memiliki sesuatu merupakan keinginan manusia yang kedua dan ini salah satu sebab mengapa manusia mau bekerja.
3. The desire for power, artinya keinginan akan kekuasaan merupakan keinginan selangkah di atas keinginan untuk memiliki, mendorong orang mau bekerja.
4. The desire for recognation, artinya keinginan akan pengakuan merupakan jenis terakhir dari kebutuhan dan juga mendorong orang untuk bekerja.

Dengan demikian jelas bagi kita bahwa setiap pekerja mempunyai motif (wants) tertentu dan mengharapkan kepuasan dari hasil pekerjaannya. Kebutuhan (needs) dan keinginan-keinginan (wants) yang dipuaskan dengan bekerja itu, adalah:

1. Kebutuhan fisik dan keamanan: menyangkut kepuasan kebutuhan fisik (biologis), seperti makan, minum, tempat tinggal dan lain-lainnya, di samping kebutuhan akan rasa aman dalam menikmatinya.
2. Kebutuhan Sosial: karena manusia tergantung satu samalain, maka terdapat berbagai kebutuhan yang hanya bisa dipuaskan, jika masing-masing individu ditolong atau diakui oleh orang lain.
3. Kebutuhan Egoistik: ini berhubungan dengan keinginan orang untuk bebas mengerjakan sesuatu sendiri dan puas karena berhasil 

Sedangkan Hatton dan Sinclair (1992) dalam Richard W. Clark (1998:98), menyebutkan maksud yang sangat spesifik dalam peran kepala sekolah dalam melaksanakan motivasi adalah:

a. Menjamin adanya komitmen dari semua partisipan baik secara individual maupun kelompok kepada visi dan misi serta semua kebijakan yang telah dirancang di sekolah
b. Menciptakan kondisi yang akan membangun energi dan semangat yang akan mendukung usaha guru dan siswa dalam pencapaian tujuan pendidikan yang telah digariskan sekolah
c. Mengangkat tingkat motivasi yang akan menjamin berjalannya kesiapan staff dengan pemahaman dan pelaksanaan tugas yang diberikan, sehingga memelihara moral yang baik di dalam sekolah
d. Memberikan model yang tepat secara antusias dalam melaksanakan tugas, terbentuknya kehangatan dan keakraban serta derajat efektivitas hubungan antar personal 
e. Memelihara iklim sekolah yang positif melalui perasaan dihargai dan berprestasi ketika partisipan melaksanakan tugasnya dalam kondisi dan implementasi kerjasama dari rencana yang telah ada.

Dalam pelaksanaan tugasnya sebagai motivator kepala sekolah seharusnya senantisa berpegang pada;

1. Semangat dan antusiasme yang telah terbukti dalam berbagai riset bahwa penekanan akan hal ini dapat membangkitkan kreativitas di antara siswa, memelihara pendekatan antusiasme dan pendekatan pada pengajaran, dan menciptakan iklim yang positif dengan lebih mengedepankan pujian dan ganjaran ketimbang kritikan.
2. Kekuatan pengaruh model yang positif dalam pembelajaran manusia telah banyak diuraikan, Bandura (1977) dalam Mulyasa (2004;55), mengidentifikasi pentingnya model kepribadian dalam arti pemberian contoh dari sikap dan tingkah laku motivator akan memberikan kesan yang mendalam dan proses imitasi atau peniruan dalam bersikap dan bertingkah laku. Blumberg dan Greenfierld dalam Hatton dan Sinclair (1998;143), mengidentifikasi peran model ini sebagai suatu faktor yang krusial dalam pelaksanaan motivasi disamping konsistensi akan komitmen dalam merealisasikan misi sekolah
3. Kepedulian akan kebutuhan manusia sebagaimana mengikuti hukum Maslow bahwa seorang motivator harus memahami tingkatan dan keragaman kebutuhan masing-masing personalia. Motivator dalam kondisi khusus harus menyadari akan pentingnya menciptakan suasana psikologis yang menyenangkan dan menciptakan rasa aman, yang lalu diikuti dengan terpenuhinya kepercayan dan harga diri mereka 

DAFTAR PUSTAKA

Batten, J.D. (1989) Though Minded Leadership, New York:American Management Association 
Cheng, Y. C. (1993). Profiles of organizational culture and effective schools. School Effectiveness and School Improvement, 4(2):85-110. 
Cook & Macaulay (1996). Perfect Empowerment (terjemahan) Jakarta; Gramedia. 
Davis, Gary A. & Thomas, Margaret A. (1989). Effective Schools and Effective Teachers. Massachusetts: Ally and Bacon. 
Day, Christopher and Alma Harris. (2007). Effective Schools Research http;//www.ncsl org.uk/publication-az.cfm . 
Departemen Pendidikan Nasional (2006), Pengembangan Budaya dan Iklim Pembelajaran di Sekolah. Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik Dan Tenaga Kependidikan. Jakarta. 
Djohar, H. (2003). Pendidikan Strategik; Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta; LESFI. 
DuFour, R and Eaker R (1987). The Principal as a Leader: Two Major Responsibilities. NASSP Bulletin. 
Duignan, P. et all. (1985) The Australian School Principal: A Summary Report Canberra: Report to the Commonwealth School Commission 
Flippo,Eb. (1983). Personnal Management, New York; MCGraw-Hill International Book Company. 
Freire, Paulo. (1999). Politik Pendidikan, Kebudayaan dan Pembebasan Terjemahan. Agung Prihantoro dan Arif F. Yogyakarta: READ dan Pustaka Pelajar. 
Furlong, C. & Monahan L. 2000. School Culture and Ethos. Dublin: Marino Institute of Education. 
Harris, Philip R. 1998. The New Work Culture. Amherst: HRD Press.
Hasibuan, (1996). Motivasi dalam Organisasi. Mandar Maju. Bandung. 
Johansson, R. (1993). System Modelling and Identification, New York: 
Prentice-Hall. International. Inc 
John P. Kotler. & James L. Heskett, (1998). Corporate Culture and Performance. (terj. Benyamin Molan). Jakarta: PT Prehalindo. 
Kinsler Kimberly & Gamble Mae. (2001). Reforming Schools. London; Continuum. 
Lerner, A.L. (1999). A Strategic Planning Primer for Higher Education. Northridge. California: College of Business Administration and Economics, California State University 
Lezotte, L.W (1989). Effective Schools Research Model for Planned Change. Effective Schools Products, Limited. Michigan Okemos. July 1989. 
Maslow A.H (1970). Motivation and Personality. (2nd ed). New York; Harper and Row. Tersedia www.alibris.com/search/books/qwork/ 4479958 . 
Mortimore, P. (1993). School Effectiveness and the Management of 
Nisyar. K dan Winardi (1997). Manajemen Strategik. Bandung. Mandar Maju. 
Purkey, S.C& Smith,M.S. (1983). Effective School: Interpreting The Evidence American Journal of Education, 83 (1983) 427-452. 
Sinclair, and Hatton (1988). The Motivation in School. Sidney; Allen & Unwin. 
Praktek Edisi Revisi V. Jakarta Rineka Cipta. 
Townsend, T. (1994). Effecting Schooling for the Communitty. London and New York, Routledge. 
Townsend, T. (1994). Goals for Effective School: the view from the field , School Effectivenes and School Improvements. Belfast Davod Fulton .inc 
<

1 komentar:

  1. Menurut Onong Ucjhana Effendi, ketercapaian tujuan merupakan keberhasilan komunikasi, keberhasilan komunikasi tergantung pada indikatornya, yaitu sebagai berikut:
    a. Komunikator (pengirim pesan). Komunikator merupakan sumber dan pengiri pesan. Kredibilitas komunikator yang membuat komunikan percaya terhadap isi pesan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan komunikasi.
    b. Pesan yang disampaikan harus memiliki daya tarik tersendiri, sesuai dengan kebutuhan penerima pesa, adanya kesamaan pengalaman tentang pesan, dan ada peran pesan dalam memenuhi kebutuhan penerima.
    c. Komunikan (penerima pesan). Agar komunikasi lancar, komunikan harus mampu menafsirkan pesan, sadar bahwa pesan sesuai dengan kebutuhannya, dan harus ada perhatian terhadap pesan yang diterima.
    d. Media yang digunakan dalam proses komunikasi harus sesuai dengan kondisi atau karakteristik penerima pesan
    e. Tujuan yang ingin dicapai harus jelas.
    Jalaluddin 2008 : 13, komunikasi yang efektif ditandai dengan adanya pengertian, dapat menimbulkan kesenangan, mempengaruhi sikap, meningkatkan hubungan sosial yang baik, dan pada akhirnya menimbulkan suatu tidakan.
    Guru yang berkomunikasi secara menyenangkan ini mampu memotivasi siswa dalam belajar, maka sebaiknya guru harus bersikap humoris dan luwes kepada siswa. Guru juga harus memilih kata-kata yang sekiranya sesuai dengan siswa, tidak menyindir, tidak terlalu memaksa siswa untuk melakukan hal seperti yang guru inginkan.
    Guru melalui komunikasi persuasif dapat mempengaruhi siswa untuk melakukan hal-hal yang positif untuk kognitif, afektif dan keterampilan dalam kualitas beragama.
    Hubungan yang makin baik. Komunikasi interpersonal yang dilakukan dapat mempengaruhi hubungan interpersonal guru dan siswa. Dalam menumbuhkan siswa, guru harus mengadakan relasi yang lebih dekat dengan siswa. Relasi yang dekat ini dapat didukung dengan adanya komunikasi yang baik. Misalnya : guru tidak memberikan judgement bahwa siswa ini cantik, pintar, bodoh, dll. Guru harus memberikan apresiasi pada siswa ketika mereka memberikan jawaban atas pertanyaan dan tidak menolak jawaban yang dikemukakan siswa, Dengan mengetahui kebutuhan siswa bahwa mereka ingin diterima di kelas, maka guru harus menciptakan iklim yang kondusif di kelas dimana siswa yang satu harus berhubungan baik dengan siswa yang lainnya. Komunikasi inilah yang dapat menimbulkan relasi guru dan siswa menjadi lebih hangat, dekat, dan menyenangkan. Disini, komunikasi interpersonal menjadi kunci terbentuknya hubungan yang lebih baik.
    Tindakan atau tauladan. Efektivitas komunikasi guru diukur dari tindakan nyata yang dilakukan oleh guru itu sendiri. Untuk menciptakan tindakan nyata pada siswa, guru harus lebih dulu menanamkan pengertian, membentuk dan mengubah sikap, serta menumbuhkan hubungan interpersonal yang baik. Jadi, terbentuknya tindakan nyata pada siswa adalah titik akhir dari jaringan komunikasi yang dilakukan untuk menumbuhkembangkan siswa. Norma-norma yang ditanamkan pada siswa akan diaktualisasikan siswa secara nyata jika dikomunikasikan guru dengan baik. Misalnya : mengajak untuk rajin belajar, lebih rajin membaca, dan bersikap aktif saat pembelajaran. Maka, dalam hal ini siswa harus ditanamkan dulu 4 komponen diatas.

    BalasHapus