1. Profesionalisme dan Kompetensi Guru
Sudah sejak lama bahwa masalah pengelolaan pendidikan amatlah penting dan harus ditangani oleh orang-orang yang benar-benar ahlinya, memiliki kecakapan, kompetensi dan profesionalisme yang jelas. Pandangan Plato empat abad silam telah meyakini tentang hal ini seperti tulisannnya yang ditafsirkan oleh Braumbaugh dan Lawrence dalam Depdiknas (2006;56) bahwa;
since education play such a central part in society and since it is through education alone that individual ability and social function can be made coincide, society should establish free public school, and second, the director of education must be one of the most chosen and respected officer of the state in the “republic” the two task of the of the most talented and educated guardian class are legislation and education: the teacher and the legislator are the twin guardian of society.
Sangat jelas bahwa orang yang mengelola pendidikan haruslah yang sangat berbakat dihormati berpendidikan dengan kata lain harus memiliki profesionalisme. Sejalan dengan itu Darling and Hammond, (2000; 129) menekankan pembaharuan manajemen sekolah pada intinya terletak pada peningkatan profesionalismen guru, seperti ditegaskannya bahwa:
Without professional development school reform will not happen ... the nation adopt rigorous standards set forth a visionary scenario, compile the best research about how students learn, change the nature of textbooks and assessment, promote teaching strategies, that have been successful with a wide range of students, and change all the other elements involved in systemic reform. But unless the classroom teacher understand and is committed to the plan and know how to make it happen, the dream will come to naught. (Darling & Hammond 1999;129)
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. UU RI no 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Bab I Pasal 1 Sedangkan batasan yang diberikan dalam UU tersebut pasal satu ayat 4 mengenai definisi profesional adalah: pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorarng dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Dari gambar di bawah ini yaitu kerangka kebijakan atau model pembelajaran untuk meningkatkan kualitas proses belajar mengajar (UNESCO 2004), terlihat bahwa bukan hanya satu sisi melainkan satu kesatuan yang terintegrasi dengan titik pusat pada pembelajar, dan ini tentu saja bukan hanya siswa yang belajar melainkan semua orang, termasuk juga lingkup organisasinya.
Jika dikaji secara mendalam semakin jelas bahwa yang menjadi inti persolaan dari pengembangan profesionalisme adalah proses pembelajaran bagi semua orang. Guru terus belajar mengembangkan kemampuan dirinya, tanggap pada setiap perubahan, tidak pernah puas akan apa yang telah dicapai, paling tidak dia mengenal berbagai metode dan model pembelajaran tidak hanya mengenal metode ceramah atau teaching by telling tetapi harus diubah menjadi teaching by understanding atau pembelajaran untuk memahami, walaupun hal ini cukup sulit bagi guru akan tetapi akan sangat efektif bagi siswa.
Hal ini memupus paradigma lama bahwa tugas guru adalah mentransfer ilmu pengetahuan dan siswa hanya sebagai wadah yang harus diisi, guru adalah manusia serba bisa, terlihat jelas bahwa guru akan ditinggalkan manakala dia tidak mau meningkatkan kompetensi dan profesionalisme dirinya, karena itu pemberian ganjaran dalam setiap upaya dan usaha guru yang menunjukan kinerja dan prestasi yang luar biasa adalah suatu keharusan untuk menu kea rah profesionalisme guru.
Hoy dan Miskel (2005), menyebutkan delapan prinsip pengembangan profesionalisme era baru yang selalu bermuara pada peningkatan proses pembelajaran siswa, yaitu:
Prinsip Pertama: Tujuan dan Performa Siswa.
Prinsip ini menekankan pentingnya pengembangan profesi harus dikemudikan dengan analisa dari perbedaan antara tujuan dan standar untuk pembelajaran siswa dan unjuk kerja siswa. Dalam arti dari hasil analisa akan dilihat apa yang dibutuhkan oleh guru ketimbang apa yang ingin dipelajarinya, pengembangan profesi tenaga pendidik harus selalu berorientasi pada keberhasilan siswa dan peningkatan mutu pendidikan pada umumnya.
Prinsip kedua: Keterlibatan Guru
Pengembangan profesi juga harus melibatkan pembelajar (termasuk guru) dalam mengidentifikasi apa yang mereka butuhkan dalam pembelajaran dan ketika mungkin dalam pengembangan kesempatan belajar dan proses yang digunakan.
Ikatan ini diupayakan meningkatkan motivasi dan komitmen untuk belajar (Hodges,1996), mempertegas kekuatan mereka dan meningkatkan kepekaan mereka tentang efektifitas, memberdayakan mereka untuk mau mengambil resiko, meningkatkan tanggung jawab dan memiliki peranan baru. Meningkatkan kemungkinan apa yang dipelajari supaya lebih bermakna, memiliki relevansi tinggi terhadap konteks dan permasalahan. Selain itu juga mempertinggi kolaborasi dalam budaya sekolah. Semua ini jelas memerlukan tingkat kepemimpinan futuristik, visioner yang juga mampu melindungi guru untuk mencipatakan rasa aman dalam budaya organisasi sehingga semua orang merasa nyaman dan merasakan kebutuhan untuk terus belajar.
Prinsip Ketiga: Berbasis Sekolah
Pengembangan profesi harus berbasis sekolah dan terintegrasi dengan operasional sekolah, namun tidak berarti dia terlepas dari lingkungannya menurut Hodges (1996) dalam Darling (2000;134), program pengembangan profesi yang baik harus menggambarkan program pengembangan berskala besar dimana kohesivitas atau kepaduan, transfer pelatihan dan efek positif senantiasa pada pembelajaran siswa hingga ahirnya terjadi penemuan dan dukungan timbal balik dalam proses pembelajaran.
Prinsip ke empat Pemecahan masalah secara kolaboratif
Program pengembangan profesionalisme harus memberikan kesempatan belajar yang berhubungan pada kebutuhan individu tetapi juga yang lebih banyak diorganisasikan untuk program pemecahan masalah secara kolaboratif.
Kegiatan ini sangat luas dan beragam, namun untuk mengawalinya bisa mulai dari kelompok kerja inter dan antar disiplin bidang ilmu dalam pembelajaran pengkajian dan pengembangan kurikulum yang sedang digunakan sekolah, melalui forum-forum kecil seperti Musyawarah Guru Bidang Pelajaran (MGMP)atau kelompok mengajar (team teaching). Lebih jauh di sekolah yang sudah lebih maju guru bisa membangun kerjasama dalam riset dan penelitian, dimana para guru bekerja sama dan sama–sama bekerja yang bertujuan untuk memfasilitasi permasalahan-permasalahan terbaru dan potensial untuk pengembangan pendidikan.
Banyak hal positif bisa didapat dari kolaborasi ini kalaupun ada hal yang kurang baik tetapi tidak sebanding dengan hal yang bisa didapat seperti berbagai pengetahuan dan informasi serta pengalaman, membuka ketertutupan dan isolasi guru, memberdayakan guru secara kolektif, menciptakan lingkungan yang menghargai profesionalisme, juga mengembangan kemampuan berbahasa, dan belajar memahami orang lain.
Prinsip ke Lima: Keberlangsungan dan Daya Dukung.
Program pengembangan profesi harus terus dan terus berlangsung, serta berkesinambungan untuk penggalian pembelajaran, termasuk dukungan sumber-sumber eksternal. Ketika program pengembangan ini diimplementasikan, pembelajar sering menemukan apa yang mereka butuhkan secara efektif. Selain itu pengembangan profesionalisme harus berbasis sekolah, pendidik juga harus memperkaya program ini dengan ide dan pengetahuan baru yang didapat dari dan untuk sekolah. Inovasi dan pengalaman baru tidak hanya beredar di guru tertentu tetapi diharapkan bisa menjadi milik semua warga sekolah.
Prinsip ke enam Memperkaya Informasi
Pengembangan profesi ini harus menambah dan mengkombinasikan sumber informasi selain juga mengevaluasi hasil dan proses dari siswa yang terlibat dalam implementasi pembelajaran melalui pengembangan profesi ini. Pengetahuan, pengalaman guru dan temuan hasil penelitian haruslah menjadi sumber informasi yang bernilai untuk memelihara akuntabilitas dan keterbukaan, sedangkan dalam program evaluasi sebaiknya menggunakan fihak luar yang independen atau paling tidak bekerja dalam kelompok. Mengetahui tentang kedalaman dan keluasan pengembangan profesi melalui evaluasi yang cukup telah terbukti mempengaruhi pencapaian target belajar siswa dan memberi sumbangan pemikiran untuk membuat desain pembelajaran di masa datang.
Prinsip ke tujuh: Pemahaman teoritis.
Pengembangan profesi tidaklah bisa berdiri sendiri namun harus terikat dan didukung oleh kerangka teoritis yang ada untuk bisa mengembangkan pemahaman teoritis dari pengetahuan dan kecakapan untuk pembelajaran. Hasil–hasil penelitian dalam bentuk yang dapat dipahami untuk dapat diakses oleh guru, harus didukung secara teoritis serta dapat dilaksanakan kedalam praktek sehari-hari. Pemahaman ini harus dikuasai secara luas mulai dari pengetahuan pedagogis umum, pengetahuan tentang mata pelajaran, manajemen kelas, model evaluasi konsepsi pengajaran suatu mata pelajaran, dan pemahaman siswa serta potensi kesalahpahaman dari suatu mata pelajaran.
Prinsip ke delapan: Merupakan bagian dari proses perubahan yang komprehensif.
Seperti diamanatkan oleh Undang-undang no 20 tahun 2003 pasal 39 dinyatakan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, dan dalam pasal 40 ayat dua dipertegas bahwa guru/tenaga pendidik harus mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan, dan secara lebih terinci dalam UU no 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 8 dan 10 bahwa seorang guru wajib memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Sejalan dengan itu dalam hal peran guru Rosentholtz (1984) dalam (Hammond;1987;88) menyatakan:
In Virtually every instance in which researcher have examinjed the factors that account for students performance, teacher prove to have greater impact than program. This is true for average students and exceptional students, for normal classroom and special classroom.
Bahwa dalam kelas dan kondisi sekolah yang bagaimanapun, peran guru sangat tinggi dan pelaksanaan program yang bagaimanapun baiknya dalam kenyataannya tetaplah tergantung pada guru. Karena itu kemampuan, kompetensi atau profesionalisme guru sangatlah menentukan dan mempunyai peran yang sangat besar dalam meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan.
Dari beragamnya permasalahan pendidikan di Indonesia salah satu kunci utamanya adalah kualitas guru, oleh sebab itu peningkatan kualitas guru merupakan upaya yang pertama dan utama dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan. Dari tangan gurulah terjadi peningkatan proses belajar dan mengajar yang baik dan efektif meskipun sarana penunjangnya terbatas. Kita lihat Standar Nasional Pendidikan misalnya untuk pendidikan dasar dan menengah kualitas tenaga gurunya masih jauh dari yang diharapkan. Sarana yang baik belum tentu menghasilkan mutu pendidikan yang tinggi, tetapi guru profesional yang baik dan bermutu pasti akan dapat meningkatkan mutu pendidikan.
Dengan disahkannya Undang-undang RI Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta diikuti dengan peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), adalah suatu bukti bahwa penyelenggaraan pendidikan tidak lagi bisa dilaksanakan dengan keadaan seadanya termasuk di dalamnya kualitas dan kompetensi guru, sebab kualitas dan kompetensi guru merupakan kunci pokok dalam pembangunan pendidikan di Indonesia.
Mengingat peranan strategis guru dalam setiap upaya peningkatan mutu, relevansi, dan efisiensi pendidikan, maka peningkatan profesionalisme guru merupakan kebutuhan. Benar bahwa mutu pendidikan bukan hanya ditentukan oleh guru, melainkan oleh mutu masukan (siswa), sarana, manajemen, dan faktor-faktor eksternal lainnya. Akan tetapi seberapa banyak siswa mengalami kemajuan dalam belajarnya, banyak tergantung kepada kepiawaian guru dalam membelajarkan siswa.
Dalam melaksanakan tugasnya, guru tidak berada dalam lingkungan yang kosong. Ia bagian dari sebuah "mesin besar" pendidikan nasional, dan karena itu terikat pada rambu-rambu yang telah ditetapkan secara nasional mengenai apa yang mesti dilakukannya. Hal seperti ini biasa di manapun, namun dalam konteks profesionalisme guru, dan jika mengajar dianggap sebagai pekerjaan profesional, kita perlu bertanya pada diri kita, sejauh manakah para guru kita dewasa ini memiliki pertimbangan profesional (professional judgement) dalam melaksanakan tugasnya?
Guru merupakan kunci dalam peningkatan mutu pendidikan dan mereka berada di titik sentral dari setiap usaha reformasi pendidikan yang diarahkan pada perubahan-perubahan kualitatif. Setiap usaha peningkatan mutu pendidikan seperti pembaharuan kurikulum, pengembangan metode-metode mengajar, penyediaan sarana dan prasarana hanya akan berarti apabila melibatkan guru (Brandt, 1993), dalam Fasli Jalal dan Supriadi (2002;102).
Peran guru dalam membangun citra lembaga pendidikan jelas tak bisa dipungkiri dan memiliki nilai jual yang sangat tinggi karena guru yang langsung berhadapan dengan siswa, (Gorman, 1974) dalam Alma (2003;59), menyatakan bahwa: “Quality faculty are attracted to universities with adequate salary scale, but more important is an environment conducive to participation and profesionalism.” Sangat jelas dan tak dapat dipungkiri bahwa, peran guru merupakan sumber daya yang sangat potensial bagi sekolah karena mereka dapat memberikan pelayanan dengan mutu tinggi kepada siswa dan juga memberi daya tarik tersendiri bagi siswa.
Sejalan dengan itu pendapat lain dari Levitt (1985) dalam Djohar (2003;34), menyatakan; “The faculty is the sales force of the school/University in the sense that is the consumer user contact group determining image and reputation”. Mutu hasil produksi sangat bergantung atas kualifikasi pengajar/sekolah “intangible product are by nature higly people intensive in their production and delivery. Goods are produced, and services are performed (Levitt;1985) dalam Djohar (2003;36).
Sekaitan dengan ini Darling and Hammond (1999;34), dengan yakin menyebutkan bahwa peran yang dilaksanakan oleh guru sangat signifikan mempengaruhi pembelajaran siswa dalam berbagai hal seperti dikuatkan dengan hasil penelitian Rosenholtz (1985) dalam Permadi (2000;27) bahwa kapasitas guru sangat besar pengaruhnya bagi pembentukan performa siswa ketimbang sebuah program yang dijalankan, dan konsep ini belaku bagi semua tataran siswa baik rata-rata siswa pada umumnya, siswa berkelainan serta siswa yang memiliki kebutuhan khusus, juga baik di dalam kelas normal maupun kelas layanan khusus.
Dari pernyataan di atas kita bisa menganalisa bahwa betapa besarnya fungsi, peran guru dalam proses pembelajaran dan peningkatan mutu demikian juga dalam konteks reformasi sekolah dan pengembangan sekolah unggul. Akhirnya kita semakin memahami bahwa bagaimanapun canggihnya teknologi, bagusnya rancangan sebuah program, cerdasnya siswa, namun akhirnya akan kembali pada bagaimana peran guru di dalam kelas. Seymor Sarason (1990), dalam Hammond (1999;112) juga menegaskan bahwa kita akan gagal membangun sekolah yang baik hingga kita mengakui bahwa fungsi penting sekolah bukan hanya sebagai tempat untuk siswa belajar dan guru bekerja atau menjalankan tugasnya melainkan juga sebagai tempat bagi guru untuk belajar dan menambah ilmu pengetahuannya.
Inovasi dan kreativitas seorang guru sangat diperlukan dalam menghadapi permasalahan dan memecahkan persoalan yang ada, untuk mengembangkan strategi dan model pengajaran, namun hal ini juga perlu mendapat dukungan dan pengertian dari kolega serta teman sejawat sehingga iklim kerja senantiasa terjaga dan terpelihara. Karena itu inovasi dan kreativitas guru merupakan hal yang merupakan bagian dari peningkatan profesionalisme guru sangat dihargai dalam konteks sekolah unggul, dalam hal kreativitas khususnya yang terkait dengan metode pembelajaran, inovasi guru dihargai oleh fihak sekolah.
Guskey (1987:41-47) merekomendasikan berpikir secara luas tetapi dimulai dari hal yang kecil atau sederhana. Berwawasan global tetapi bertindak lokal, peduli pada perubahan kecil tapi berkesinambungan, memahami konsep yang luas serta terpadu akan memberi arti yang signifikan.
UNESCO (1996), dalam buku Learning: The Treasure Within telah mencanangkan empat pilar pendidikan abad ke-21 yang perlu diterapkan konsepnya, dalam pendidikan nasional, yaitu: (1) belajar untuk mengetahui (learning to know), (2) belajar untuk melakukan sesuatu/bekerja terampil (learning to do), (3) belajar untuk menjadi seseorang/pribadi (learning to be), dan (4) belajar untuk menjalani kehidupan bersama (learning to live together). Dalam konteks ke-Indonesiaan, sistem pendidikan nasional berkewajiban mempersiapkan setiap warga negara agar dapat berperan aktif dalam seluruh lapangan kehidupan dengan cerdas, aktif, kreatif, terampil, jujur, berdisiplin, bermoral tinggi, demokratis, dan toleran dengan mengutamakan persatuan bangsa.
Komitmen Dakar (2000a) yang berkaitan dengan mutu pendidikan adalah sebagai berikut;
Peningkatan mutu pendidikan yang diberikan kepada semua peserta didik dan peningkatan itu tercermin pada ukuran-ukuran outcome yang dapat diandalkan. Beberapa aspek utama dalam penilaian mutu pendidikan antara lain kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, serta keterampilan utama untuk hidup (essential life skills).
Karena itu bentuk reformasi pendidikan seyogyanya dan esensinya adalah diawali dari reformasi manajemen sekolah, seperti pendapat Lap Dianne (1975;51) bahwasanya: “Teaching models never come about by accident. They are generally the result of gradual reformation of a long standing sets of beliefs”.
Karena itulah bahwa kompetensi, profesionalisme tenaga pendidik dan reformasi atau pembaharuan manajemen sekolah bukan terjadi secara kebetulan melainkan merupakan hasil dari reformasi secara bertahap dan berkelanjutan. Dari berbagai dimensi para peneliti menyimpulkan bahwa inti dari manajemen partisipatif adalah menyatukan berbagai dimensi seperti; partisipasi, keterlibatan warga sekolah dan kerjasama, yang menjadi alasan mengapa partisipasi sangatlah penting dalam konteks pendidikan adalah terletak pada Empowerment (pemberdayaan) dan Profesionalization (profesionalisasi).
Ahmad Sanusi, dkk (1991;15), berpendapat bahwa profesionalisme merujuk pada komitmen para anggota suatu organisasi profesi untuk meningkatkan standar kemampuan profesionalnya serta profesionalitas dalam praktek kerjanya, pengertian profesionalitas mengacu pada sikap, derajat pengetahuan, dan keahlian yang dipraktekan tatkala seorang profesional menjalankan profesinya; sedangkan profesionalisasi merujuk pada upaya dan proses peningkatan berbagai dasar, persyaratan dan kriteria, standar kualifikasi, kemampuan dan keahlian, perlindungan dan pengawasan bagi pengakuan atau peningkatan suatu profesi.
Satori (1998;10), memberi batasan mengenai profesionalisasi adalah:
Seperangkat upaya yang sistematis untuk mengembangkan suatu pekerjaan berdasarkan norma-norma profesional dalam mengukur tingkat efektifitas dan efisiensi hasil pekerjaan tersebut. Seseorang dapat dikategorikan profesional dalam pekerjaannya apabila memilki karakteristik yang melekat dalam dirinya sebagai seorang profesional, seorang profesional melakukan pekerjaannya berdasarkan keahlian khusus yang diperolehnya melalui pendidikan profesi dalam jangka waktu cukup panjang (minimal 4 tahun di Perguruan Tinggi). Setelah itu seorang profesional mengabdikan dirinya untuk kepentingan “kliennya” dan dalam pengambilan keputusan pekerjaannya selalu didasarkan kepada norma-norma profesi.
Mengingat peranan strategis guru dalam setiap upaya peningkatan mutu, relevansi, dan efisiensi pendidikan, maka peningkatan profesionalisme guru merupakan kebutuhan. Benar bahwa mutu pendidikan bukan hanya ditentukan oleh guru, melainkan oleh mutu masukan (siswa), sarana, manajemen, dan faktor-faktor eksternal lainnya. Akan tetapi seberapa banyak siswa mengalami kemajuan dalam belajarnya, banyak tergantung kepada kepiawaian guru dalam membelajarkan siswa.
Apa yang dimaksud dengan guru profesional paling tidak mempunyai ciri-ciri berikut ini: (1) mempunyai komitmen pada proses belajar siswa; (2) menguasai secara mendalam materi pelajaran dan cara mengajarkannya; (3) mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya; dan (4) merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya yang memungkinkan mereka untuk selalu meningkatkan profesionalismenya.
Dari mana datangnya profesionalisme? Profesionalisme guru merupakan hasil dari profesionalisasi yang dijalaninya secara terus menerus. Dalam proses ini, pendidikan prajabatan (preservice education), pendidikan dalam jabatan termasuk penataran (in-service training), pembinaan dari organisasi profesi dan tempat kerja, penghargaan masyarakat terhadap profesi keguruan, penegakan kode etik profesi, sertifikasi, peningkatan kualitas calon guru, besar-kecilnya gaji/imbalan, dan lain-lain secara bersama-sama menentukan profesionalisme guru.
Pengertian dasar kompetensi (competency) adalah kemampuan atau kecakapan. Padanan kata yang berasal dari bahasa Inggris ini cukup banyak dan yang lebih relevan dengan pembahasan ini ialah kata proficiency dan ability yang memiliki arti kurang lebih sama yaitu kemampuan. Hanya, proficiency lebih sering digunakan orang untuk menyatakan kemampuan berperingkat tinggi.
Di samping berarti kemampuan, kompetensi juga berarti: ... the state of being legally competent or qualified, (McLeod, 1989) dalam Supriadi (2000:5), yakni keadaan berwewenang atau memenuhi syarat menurut ketentuan hukum. Adapun kompetensi guru (teacher competency) menurut Barlow (1985) dalam Depdiknas (2000;67), ialah The ability of a teacher to responsibly perform his or her duties appropriately. Artinya, kompetensi guru merupakan kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara bertanggung jawab dan layak. Jadi, kompetensi profesionalisme guru dapat diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan guru dalam menjalankan profesi keguruannya. Artinya, guru yang piawai dalam melaksanakan profesinya dapat disebut sebagai guru yang kompeten dan profesional.
Namun menurut Supriadi (2001, 212), ada semacam common denominators antara berbagai profesi. Suatu profesi umumnya berkembang dari pekerjaan (vocation) yang kemudian berkembang makin matang. Selain itu, dalam bidang apa pun profesionalisme seseorang ditunjang oleh tiga hal, tanpa ketiga hal ini dimiliki, sulit seseorang mewujudkan profesionalismenya. Ketiga hal itu ialah keahlian, komitmen, dan keterampilan yang relevan yang membentuk sebuah segitiga sama sisi yang di tengahnya terletak profesionalisme.
Ketiga hal itu pertama-tama dikembangkan melalui pendidikan pra-jabatan dan selanjutnya ditingkatkan melalui pengalaman dan pendidikan/latihan dalam jabatan. Karena keahliannya yang tinggi, maka seorang profesional dibayar tinggi. "Well educated, well trained, well paid", adalah salah satu prinsip profesionalisme.
Berdasarkan pertimbangan definisi di atas, maka pengertian guru profesional adalah guru yang melaksanakan tugas keguruan dengan kemampuan tinggi (profisiensi) sebagai sumber kehidupan.
Lebih lanjut, dalam menjalankan kewenangan profesionalnya, guru dituntut memiliki keanekaragaman kecakapan (competencies) yang bersifat psikologis, yang meliputi:
1) kompetensi kognitif (kecakapan ranah cipta);
2) kompetensi afektif (kecakapan ranah rasa);
3) kompetensi psikomotor (kecakapan ranah karsa).
Di samping itu, ada satu macam kompetensi yang diperlukan guru, yakni kompetensi kepribadian. Namun demikian, kompetensi kepribadian ini kandungan elemennya secara implisit sudah terkandung dalam tiga kompetensi di atas.
Memang mutu pendidikan bukan hanya ditentukan oleh guru, melainkan oleh mutu masukan (siswa), sarana, dan faktor-faktor instrumental lainnya. Tapi semua itu pada akhirnya tergantung kepada mutu pengajaran, dan mutu pengajaran tergantung pada mutu guru.
Dalam melaksanakan tugasnya, guru tidak berada dalam lingkungan yang kosong, ia bagian dari sebuah "mesin besar" pendidikan nasional, dan karena itu terikat pada rambu-rambu yang telah ditetapkan secara nasional mengenai apa yang mesti dilakukannya. Hal seperti ini biasa di manapun. Namun dalam konteks profesionalisme guru, dan jika mengajar dianggap sebagai pekerjaan profesional, kita perlu bertanya pada diri kita, sejauh manakah para guru kita dewasa ini memiliki pertimbangan profesional (professional judgement) dalam melaksanakan tugasnya?
Beberapa komponen penting berkaitan dengan penetapan standar profesionalitas tenaga kependidikan khususnya guru, antara lain menyangkut:
(a) program pendidikan pra-jabatan; (b) kelulusan dalam. ujian akhir pendidikan; (c) kelulusan dalam ujian jabatan; (d) perizinankerja/praktek; (e) pengucapan sumpah jabatan; (f) pengucapan kode etik jabatan; (g) performans/praktek profesi: (h) sistem imbalan: (i) perlindungan profesi: (j) organisasi profesi; (k) keanggotaan dalam organisasi profesi; (1) pembinaan; (m) pengawasan; (n) penindakan disiplin organisasi; dan (o) penindakan hukum (Sanusi, 1991).
Dalam undang undang RI no 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Bab I Pasal 1 bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan non-formal pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
Sedangkan pengertian profesional menurut undang undang ini adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Jika mengacu pada PP no 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan Pendidikan Nasional. Mengenai kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi:
a. Kompetensi Pedagogik
b. Kompetensi Kepribadian
c. Kompetensi Profesional
d. Kompetensi Sosia
Jurnal terkemuka manajemen pendidikan Leadership edisi Maret 1993 menurunkan laporan utama menurut jurnal itu, untuk menjadi profesional, seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal:
Pertama, guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya Ini berarti bahwa komitmen tertinggi guru adalah kepada kepentingan siswanya.
Kedua guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya semua cara mengajarkannya kepada para siswa guru dalam hal ini merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Ketiga, guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampai tes hasil belajar.
Keempat, guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya. Artinya harus ada waktu untuk guru guna mengadakan refleksi dan koreksi terhadap apa yang telah dilakukannya. Untuk bisa belajar dan pengalaman ia harus tahu mana yang benar dan salah serta baik dan buruk dampaknya pada proses belajar siswa.
Kelima, guru seyogianya merupakan bagian dan masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya, dan organisasi profesi lainnya.
Sekaitan dengan pendapat di atas Gary. A. Davis & Margaret A. Thomas, (anonim), merumuskan kriteria seorang guru profesional sebagai berikut:
1. Memiliki kemampuan yang terkait dengan iklim belajar di kelas
a) Memiliki keterampilan interpersonal, kekhususannya untuk menunjukan empati, penghargaan kepada siswa dan ketulusan
b) Memiliki hubungan baik dengan siswa
c) Mampu menerima, mengakui, dan memperhatikan siswa secara tulus
d) Menunjukan minat dan antusias tinggi dalam mengajar
e) Mampu menciptakan atmosfir tumbuhnya kerjasama dan kohesivitas diri dan antar kelompok siswa
f) Mampu melibatkan siswa dalam mengorganisasikan dan merencanakan kegiatan pembelajaran
g) Mampu mendengarkan siswa dan menghargai hak siswa untuk berbicara pada setiap diskusi
h) Mampu meminimalkan friksi-friksi di kelas jika ada
2. Memiliki kemampuan yang terkait dengan strategi manajemen pembelajaran
a) Memiliki kemampuan untuk menghadapi dan menangani siswa yang tidak memiliki perhatian terhadap bahan ajar dalam proses pembelajaran
b) Mampu bertanya atau memberikan tugas yang memerlukan tingkat berfikir yang berbeda untuk semua siswa
3. Memiliki kemampuan yang terkait dengan pemberian umpan balik penegasan
a) Mampu memberikan umpan balik yang positif terhadap respon siswa
b) Mampu memberikan respon yang sifatnya membantu terhadap jawaban siswa yang kurang memuaskan
c) Mampu memberikan bantuan profesional kepada siswa jika diperlukan
d) Memiliki kemampuan yang terkait dengan peningkatan diri
e) Mampu menerapkan kurikulum dan metode mengajar secara inovatif
f) Mampu memperluas dan menambah pengetahuan mengenai metode pengajaran
g) Mampu memanfaatkan perencanaan guru secara berkelompok untuk menciptakan dan mengembangkan metode pengajaran yang relevan.
Satu hal lagi yang menentukan penampilan profesional guru adalah sejauh manakah ia menguasai prinsip-prinsip pedagogik secara umum maupun didaktik-metodik secara khusus yang berlaku pada setiap mata pelajaran.
Sedangkan menurut Sukmadinata (2003;45), sifat dan sikap profesional seorang guru adalah selain pengetahuan dan kecakapan-kecakapan di atas, ada beberapa sifat dan sikap yang harus dimiliki oleh guru profesional, yaitu:
1. Fleksibel. Dalam menyampaikan prinsip tidak kaku, sesuai dengan situasi, kemampuan, sifat-sifat serta latar belakang siswa. Bisa bertindak bijaksana, dengan pendekatan yang tepat, terhadap orang yang tepat dalam situasi yang tepat.
2. Bersikap terbuka. Seorang guru hendaknya memiliki sifat terbuka dan juga untuk mengoreksi diri. Kelemahan atau kesulitan yang dihadapi oleh para siswa ada kalanya disebabkan karena kelemahan atau kesalahan pada guru.
3. Berdiri sendiri. Seorang guru adalah orang yang telah dewasa, dan sanggup berdiri sendiri, baik secara intelektual, sosial maupun emosional.
4. Peka. Seorang guru harus peka terhadap penampilan para siswanya. Dalam arti cepat mengerti, memahami atau melihat dengan perasaan apa yang diperlihatkan oleh siswa.
5. Tekun. Pekerjaan seorang guru membutuhkan ketekunan, baik di dalam mempersiapkan, melaksanakan, menilai maupun menyempurnakan pengajarannya.
6. Realistik. Seorang guru mampu berpikir dan berpandangan realistik, melihat kenyataan apa adanya. Mampu mengatasi segala tuntutan dalam keadan keterbatasan yang meligkupinya.
7. Rasa ingin tahu. Sebagai agen perubahan senantiasa tampil terdepan dengan mengembangkan diri dan terus belajar untuk meningkatakan kompetensi dan profesionalismenya.
8. Ekspresif. Mampu menciptakan suasana kelas yang menyenangkan. Dengan menciptakan susasana yang ekpresif dan tulus dari perasaan hatinya.
9. Menerima diri. selain bersikap realistis, mampu menerima dan memahami keadaan dan kondisi dirinya dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Salah seorang pakar pendidikan dalam Suderajat (2003), mengatakan bahwa guru adalah the heart of the educational, sang guru adalah jantungnya pendidikan memang tak bisa dipungkiri, garda terdepan untuk menjalankan roda pendidikan bangsa sebagain besar ada dipundaknya sebagus apapaun kurikulum, saran dan prasarana yang dimiliki tanpa guru yang profesional kualitas mutu yang diharapakan sulit utuk diraih. Guru merupakan kunci keberhasilan pembelajaran siswa, maka keberhasilan kepala sekolah yang utama adalah membentuk sikap dan kemampuan guru menjadi profesional (Sallis, 1993), dalam Suderajat (2003,45).
Di negara manapun, guru diakui sebagai suatu profesi, guru diagungkan, disanjung, dikagumi karena perannya yang sangat penting. Namun peran ini, menurut Gerstner dkk, akan berubah di masa depan, yakni abad ke-21. Perubahan berpusar pada pola relasi antara guru dengan lingkungannya: dengan sesama guru, dengan siswa, dengan orang tua, dengan kepala sekolah, dengan teknologi, dan dengan karirnya sendiri. Guru akan lebih tampil tidak lagi sebagai "pengajar" (teacher) seperti menonjol fungsinya selama ini, melainkan sebagai: pelatih, konselor, manajer belajar, partisipan, pemimpin, dan juga pembelajar.
Sebagai pelatih (coach), guru masa depan akan berperan ibarat pelatih olahraga, ia akan lebih banyak membantu siswa dalam "permainan". Bedanya, permainan itu adalah belajar (game of learning). Sebagai pelatih, guru mendorong siswanya untuk menguasai alat belajar, memotivasi siswa untuk bekerja keras dan mencapai prestasi setinggi-tingginya, bekerja sama dengan siswa lain untuk mencapai tujuan, membantu siswa menghargai nilai belajar dan pengetahuan, guru tak cukup hanya memaksa atau menyuruh" siswa untuk belajar.
Sebagai konselor, guru akan menjadi sahabat siswa, teladan dalam pribadi yang mengundang rasa hormat dan keakraban dari siswa. Struktur kelas, letak meja dan kursi yang sering menjadi penghambat psikologis antara keduanya akan mencair, maka tercipta apa yang disebut "sekolah dalam sekolah" (school-within school), di mana siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil di bawah bimbingan guru.
Guru merupakan kunci dalam peningkatan mutu pendidikan dan mereka berada di titik sentral dari setiap usaha reformasi pendidikan yang diarahkan pada perubahan-perubahan kualitatif. Setiap usaha peningkatan mutu pendidikan seperti pembaruan kurikulum, pengembangan metode-metode mengajar, penyediaan sarana dan prasarana hanya akan berarti apabila melibatkan guru (Brandt, 1993), dalam Jalal dan Supriadi (2002;134).
Dalam kasus peran guru yang disebut di atas untuk peran guru sebagai konselor atau konsep school within school secara nyata kegiatan tersebut bisa dilihat dalam hal hubungan keakraban dan persahabatan guru dan murid, di SMA Muthahari dan SMA Al-Masoem telah terlihat berhasil mengembangkan konsep tersebut.
Peran guru dalam membangun citra lembaga pendidikan jelas tak bisa dipungkiri dan memiliki nilai jual yang sangat tinggi karena guru yang langsung berhadapan dengan siswa, sebagaimana (Gorman, 1974) dalam Alma (2003), menyatakan bahwa: “Quality faculty are attracted to universities with adequate salary scale, but more important is an environment conducive to participation and profesionalism.” Sangat jelas dan tak dapat dipungkiri bahwasanya, peranan guru merupakan sumber daya yang sangat potensial bagi sekolah karena mereka dapat memberikan pelayanan dengan mutu tinggi kepada siswa dan juga memberi daya tarik tersendiri bagi siswa.
0 komentar:
Posting Komentar